Mari Membunuh Desember
2 tahun lalu, saat denting hujan mengaliri sudut jalanan kota
Mata kita beradu kasih
Aku masih ingat tentang Sriwedari
Aku belum sanggup menyusulmu, di situ. Di buaian kenangan ini, aku masih terkutuk menjadi bayi yang ditimang waktu.
Kau membawa dedaunan gugur, kau hamburkan di depan wajahku
Bahkan harum bunga krisan bulan juni tak mampu menyimpan ranggas cintaku
Jemariku selalu sendu mengadu kepada jemarimu
Mencari celah-celah pengisinya
Lalu kau membawaku pergi ke hulu rindu, syahdu
Kupikir air yang kau bawa akan tenang namun ternyata sampai di muara luka. Riam jeram sungai bengawan. Mengapung bangkai-bangkai kenangan, tak kunjung usai diurai ingatan
Di persimpangan desember
Ingin aku bunuh sepi yang merajahi diri
Pipiku selalu basah karena sunyi; telah diciptakan sunyi, gelap malam; yang terus tumbuh seperti kau, puisi atau badala yang diciptakan untukku yang selalu berkabung
"Kau tidak mati, tapi telah pergi"katamu
Kini yang kau katakan memang terbukti
Aku manusia yang tidak dihidupkan raganya karena kehilangan
Seperti berjalan diatas bilah pedang, aku luka tapi tak berdarah, kakiku perih tapi tak bernanah; dan hatiku ada dingin yang hendak dikekalkan pagi, pada sesal tubuh yang tak mendekap ratap tanganmu lagi
Mari bunuh Desember kita
Saat berteduh di bawah hujan menjadi kebanggaan; mengantarku menjadi kewajiban; menari di bawah sorot lampu Balekambang
Aku akan menyelami luka ini dengan baik, mengayun-ayunkannya di persimpangan mata, menembus kabut prasangkaku untuk mengaburkan curamnya mencintaimu
Akan aku timbun reruntuhan air mataku
Akan aku bisukan bibirku dari menyebut namamu
Akan kubutakan mataku untuk mengingat jejakmu
Dan kau adalah sebaik-baik penutup untuk kisahku
Terima kasih pernah hadir di hidupku
Komentar
Posting Komentar