Chapter 2. Pyrethrum Labirin Es Zakopane


Gadis itu memandangku dengan tatapan penuh kedengkian. Matanya berkata seolah ingin meremukan seluruh isi bumi hingga memipihkan centrum bimasakti ke dalam lembaran-lembaran baja anti karat pembuat Swissminigun-revolvet terkecil di dunia. Seketika ingin dia letupkan di kepalaku dengan kecepatan 270 mph.
 Diam kami masih ditemani lagu Stole The Snow milik Kygo. Aku tak dapat menjelaskan apapun ketika dia melihatku tanpa sehelai benang bahkan untuk area yang jarang kulihat dengan mataku sendiri. Dia menegang. Dan itu memang tak bisa ku kendalikan. Klise.

 **
Dia memang sangat cantik bagiku. Tak bisa kulewati hariku tanpa memikirkannya barang sekelebat camar melesat. Mata sendu yang selalu dibawanya terasa candu yang tak bisa ditawar. Ketika tatapannya melesat dan saling beradu denganku, seolah duniaku berbalik. Aku tak membutuhkan orang lain selain dirinya. Bahkan kemolekan Emily Ratajkowski tak dapat menandingi kehangatan senyum yang dia pancarkan.

**
Senja itu aku bertemu dengannya di sudut kota dekat kios penjual bunga. Tatapannya dingin dan sedikit kosong. Aku dekati dia dengan membawa sekuntum bunga yang diberikan Piotr si penjual bunga yang memang kenal dekat denganku. Pyrethrum adalah bunga yang aku berikan padanya waktu itu, salah satu bunga dari genus Chrysanthemum yang banyak ditemukan disini. 
"Hai," kuberanikan diri menyapanya,
"Hari ini aku mendengar bisikan dari Pyrethrum ini kalau dia menemukan pemiliknya, dan kau tahu siapa?" Aku acungkan bunga itu kedepannya. Dia tersenyum.
"Aku Luis dan kau?" Dia hanya membalasku dengan senyuman.
"Baiklah mungkin kau tidak mau menyebutkan namamu. Aku akan memanggilmu Pyrethrum karena bunga ini menggambarkan dirimu yang tumbuh di kondisi dingin namun tetap bisa bersinar dan cantik."
Anggukannya menandakan kesetujuan.
"Selain bunga ini, apa yang kau sukai? emh, kau pernah meminum teh dari enchinacea? Kalau kau mau aku bisa menunjukannya padamu sebuah toko teh yang sangat nyaman untuk ngobrol disekitar sini."
Dia kembali tersenyum dan memgang tanganku. Seketika jantungku berhenti berdetak. Urat nadi yang kukendalikan lepas begitu saja. Dia menusuku lebih dari sebuah first sign

**
Kembali pada pandanganku saat ini, mata gadis itu memerah namun seperti ada yang tersendat di kerongkongannya. Bukan sebuah tangisan namun pendaman kekecewaan. Dia seperti ingin melarikan diri dalam sebuah labrin es yang ada di Zakopane, Polandia. Hatinya tersesat di salah satu sudut labirin es itu, dia ingin berteriak namun seperti tak ada yang mendengarnya. Dia mendekatiku, 6 mata kami saling beradu. Sumpah serapah dia lantunkan dengan indahnya. Tetiba dia akan menyakiti Pyrethrum-ku. Tetiba tangannya beradu dengan tanganku.

 **
Pyrethrum tidak tumbuh di sembarang tempat, dia pun membutuhkan pupuk yang cocoknya. Pun tidak sembarang pupuk dapat membuatnya tumbuh dengan indahnya, berkelopak genap dan berdaun hijau segar. Tapi dia benar-benar sempurna kataku. Kami menghabiskan senja kami dengan seduhan
enchinacea dan bercerita semua tentang utara Kilimanjaro hingga Danau Turkana yang dinaungi suku Nilotic. Setelah beberapa bercerita aku mengajaknya ke area bounce jumping di sekitar sungai Neisse yang sedang terkenal di sosial media. Aku mengajaknya untuk mencoba.
"Kau mau melakukan satu hal gila bersamaku?" Kataku seraya menunjuk area itu.Pyrethrum-ku ketakutan. Akhirnya aku beranikan diri memeganginya dan melompat bersama. 
"1..2...3" aku memberi aba-aba. 
Aku mencium harum rambutnya, mirip seperti lavender di musim semi. Dia sangat dekat saat itu, dia menutup matanya. Di tengah udara ini aku memandanginya, sangat lekat. Bibirnya yang menggambarkan buah peach semai menarikku untuk mendekat. Aku merasakan manisnya. Manis Sekali.
Kami selesai dan dia hanya terdiam memandangku.
"Hal yang kita lakukan kali ini akan lebih gila dari ini" Sepatah kata yang keluar dari mulutnya memabukan sungguh. 
Tanpa berpikir panjang aku mengajaknya ke flat-ku dan kau pasti tau apa yang terjadi berikutnya.
                                                                                  **
Gadis itu tak bisa menahannya lagi. Dia menangis sejadi-jadinya. Dia tak menyangka akan melihat semua ini, saat dia membuka pintu flat-ku dengan sekotak sandwich buatannya, kemudian melihatku dan Pyrethrum itu bak merpati yang beradu layar di surga dan beakhir dengan mata yang saling beradu.
Pyrethrum-ku hanya terdiam, kembali pada tatapan dinginnya kala pertama dia bertemu denganku.
Pyrethrum memang terlihat sangat indah di musim dingin, seperti saat kau menemukannya di antara labirin es Zakopane namun warna putihnya menunjukan dingin dalam hatinya yang akan segera berubah layu. Dan aku kini mengerti mengapa di awal perjumpaan kami tatapannya sama dinginnya dengan saat ini. Karena dia bertemu lelaki sepertiku. Bukan.. tapi lebih dari yang seperti aku.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

DenoSa ~ Dewi Novita Sari

Welcome to Poland!

You Can Call Me Anything You Want