Lebaran



Apa yang kadang mejadikanmu memaknai lebaran berbeda dengan hari-hari lainnya?

Apa karena di hari itu hari pertama setelah 30 hari berjuang menahan keinginan untuk minum es degan dan bakso di siang hari?

Hari dimana lapangan terisi oleh orang-orang dengan baju masih berbau toko dan sepatu yang belum tersentuh lumpur.

Hari dimana jalan-jalan sekitar masjid akan berubah menjadi tumpukan sampah sisa mercon.
Hari dimana kita bisa menghabiskan APAPUN! Roti, camilan, makan besar, bahkan sekalipun kamu mau makan petasan di mulutmu pun tidak masalah.

Hari dimana kita akan meminta maaf kepada sanak saudara yang mungkin hanya bisa bertemu 1 tahun sekali, iya di hari itu. Dan kitalah yang mengalah meminta maaf dari dosa yang entah kita lakukan atau tidak. Yang penting kan minta maaf.

Atau hari dimana saat kita akan mendengarkan kehebatan dari anak-anak-nya, sepupu-nya, kemenakan-nya, atau apapun yang kita sebut itu dalam keluarga. Seperti contoh “anakku yang ini lho, juara 1 di sekolahnya.. sekarang mau masuk SMA mau daftar di mana saja bisa, gak usah pusing kayak anak lainnya” kemudian diakhiri dengan sedikit ketawa-ketawa manja. Atau ada juga yang seperti ini, “cucuku sekarang S2 nya ke luar negeri, kemarin pas aku umroh yang ke-5 ehh di telp pas lagi mau beli kurma”; “kalau cucuku yang satunya ini sukanya koleksi mobil padahal udah tak ingetin blablablaaaa”. 

Hari dimana kamu akan berkeliling dan akan ditanyai kapan menikah? (kalau sudah) kapan memiliki anak? (kalau sudah) kapan punya anak lagi? (kalau sudah) kapan anaknya bekerja? Kapan punya rumah? Kapan naik jabatan? Dan tingkatan pertanyaan itu tak akan berhenti sampai kita tidak sanggup menjawab. Sayangnya, dari kita tidak berani berbalik bertanya kepada si penanya agar dia pun diam dengan satu pertanyaan kita “lalu, kalau panjenengan kapan matinya?”.


Apa itu lebaran?


Sebuah refleksi dari batinku terdalam tentang hari yang ‘katanya’ dan memang dianggap suci oleh seluruh umat islam bukan hanya di tingkat RT ku saja tetapi seluruh dunia. 

Lebaran itu suci. Bagiku tak penting berapa harga baju putih yang kau pakai ke lapangan untuk solat ied, tak penting berapa mahal perhiasan yang kau tampakan ke sanak saudaramu agar terlihat sudah lebih mampu dari tahun lalu, tak penting suara-suara mercon yang bersaut-sautan di sepanjang jalan, dan yang lebih tak penting adalah ketika kau mengGHIBAH tentang anakmu kepada handai taulanmu.

"Apabila diibaratkan dengan selembar kain yang selama setahun kita pakai tanpa dicuci, banyak noda dan kotoran menempel disana"
Selama 30 hari tersebut kita cuci dengan sungguh-sungguh, dibasuh sela-selanya, diberikan wewangian agar lebih sedap dipakai setahun kedepan, dan dirapikan dengan keyakinan akan menambah kegagahan/keindahanya. Dan ingat kain kita yang diberikan oleh Sang Khalik hanya 1, tidak dapat kita tukar tambah dengan orang lain. Lalu kemudian, kalau kita hanya diberikan selembar kain oleh Yang Disana masihkan kita akan menyombongkan diri di hari yang suci? hari yang seharusnya kita isi dengan rasa syukur dan penjagaan awal terhadap kain yang baru kita cuci tadi?
Bersyukur dan berdoa agar dipertemukan kepada hari itu lagi seharusnya sudah cukup membuat kita tidak menginginkan/mengatakan hal-hal tidak penting lainnya. Jangan jadikan lebaranmu yang suci menyakitkan hati sanak saudara atau handai taulanmu. Jangan jadikan kainmu yang sudah kau cuci itu kotor seketika di hari dia masih sangat bersih, rapi, dan wangi.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

DenoSa ~ Dewi Novita Sari

You Can Call Me Anything You Want

Welcome to Poland!